Pembelaan Seorang Tikus Anti-Intelektual

Pembelaan Seorang Tikus Anti-Intelektual

screenshot tweet Gladhys komentar tentang buku terbaru Velodrom
https://twitter.com/_gladhys/status/1879035790380154989

Berawal dari utas tweet Gladhys di atas, lalu ada salah satu warganet yang memberi respons dengan melabeli Gladhys sebagai anti-intelektual. Ya tentu saja, aku selayaknya kebanyakan warganet, membaca cuitan respons tsb pakai bumbu emosi racikanku sendiri, apalagi pemberi label ini seorang lelaki dan Gladhys temanku sendiri, aku otomatis respons ke tweet itu:

screenshot tweet responsku terhadap seseorang yang melabelkan Gladhys anti-intelektual

Tak disangka-sangka (atau sebenarnya sudah ketebak, tapi aku terlalu positive thinking kala itu), para warganet terutama cabang booktwt/pemerhati isu feminisme & sastra Indonesia/perempuan&lelaki, ramai-ramai turut memberikan opini mereka tentang hal ini. Yey, lahirlah diskursus baru di per-tweetan.🤓Beberapa warganet pun (kebanyakan lelaki tapi ada juga perempuan) merespons ke beberapa tweet-ku, lewat tweet di publik atau pun DM. Ada beberapa respons menyenangkan dan sangat aku hargai (terjadi diskusi produktif istilah keren-nya), ada juga yang merespons dengan membawa agenda dan asumsi mereka sendiri, sehingga aku mau jawab pakai akrobat model apa pun juga, mereka ini tetap akan enggan menerima argumenku, (ah atau mungkin aku yang memang masih kurang piawai dalam berargumen di twitter hehe). Paling aku herankan, ada yang menganggap ungkapan kecurigaan Gladhys sebagai ajakan untuk boikot atau cancel buku tsb, sebuah interpretasi yang wow jauh sekali ya, bang, mungkin sudah terlalu terbiasa mikir worst-case scenario, hiks, kaum overthinking ya, bang, sama dong, tos yuk. 😭

Aku ingin menekankan di sini, bahwa niatku sedari awal di tengah diskursus tweet tsb, adalah membela salah satu temanku yang diberi label anti-intelektual, hanya karena ia mengungkapkan kecurigaan dan keskeptisan-nya itu. Terms anti-intelektual menurutku bukan sesuatu yang remeh, apalagi ketika terms itu juga dipakai untuk mendefinisikan rezim totaliter yang memang konsisten menghilangkan para intelektual di negaranya, bentuk penindasan suatu rezim supaya tidak lahir suara-suara oposisi. Maka dari itu, menurutku konyol, kalau hanya berdasarkan satu utas tweet, tanpa pernah bertemu dan berdiskusi langsung lebih luas, tiba-tiba mencap seseorang sebagai anti-intelektual. Di sisi lain, aku juga sangat paham, bagaimana iklim kritik sastra (atau bahkan media seni lain juga) minim kehadirannya di Indonesia. Jadi aku bisa mengerti, banyak teman pembaca yang girang dan menantikan buku kumpulan esai Cep Subhan KM tsb. Menurutku, bukankah sebagai seorang kritikus sastra, ia justru bakal menjadi paling terdepan, untuk paham bahwa pembacaan netral itu seperti menegakkan benang basah, dan apakah ekspektasi-ku berlebihan bahwa seorang kritikus akan jadi pihak paling siap untuk ditantang benar kah, pendekatan yang ia lakukan dalam membaca suatu karya sudah se-objektif itu dan minim ke-subjektif-an, atau ternyata masih ada saja bocor-bocor sedikit subjektivitas dari identitasnya sebagai lelaki yang membaca dan membedah karya-karya perempuan itu?

Bukannya jadi seru juga ya, buat para pembaca yang memang menantikan buku tsb, kalian akan tetap bisa membaca kumpulan esai itu, kemudian kalian buat ulasan. Siapa tahu dengan membaca ulasan kalian, beberapa pembaca lain yang awalnya skeptis dan curiga, jadi tertarik untuk membaca juga. Atau dengan cara lain, kalian bisa meyakinkan ke yang awalnya curiga atau skeptis, “eh ternyata esai-esainya begini begitu lho.” Atau ternyata, jadi memantik penerbit lain untuk menerbitkan kumpulan esai kritik sastra penulis-penulis lelaki oleh seorang kritikus perempuan. Atau jadi ada ruang diskusi yang lebih sehat adem ayem tanpa jontos-jontosan di luar medsos, pokoknya apa pun bisa kan ya, man-teman, biar diskursus itu tidak hanya mandek menthok di X, terus dianggap debat kusir, debat para tikus anti-intelektual, atau bentuk tantrum para insan yang tak mampu berlogika dan hanya bisa mengedepankan emosi semata. 🤪

This is my personal view and opinion, I’m not speaking on behalf of all Indonesian women (who knew and had followed this particular discourse). 🙏🏽

Tags: