Perpanjangan dari diskursus yang sempat saya singgung di sini, saya ingin merespons esai Mas Yohan Fikri di atas.
Berlandaskan salah satu artikel ilmiah yang dijadikan acuan oleh Mas Yohan, “The Problem of Speaking for Others” – Linda Alcoff, bagaimana pentingnya disclaimer dibarengi dengan critical interrogation, maka saya akan memberi disclaimer bahwa saya tidak bekerja penuh waktu sebagai aktivis feminis, saya pun masih harus banyak belajar dari teman-teman perempuan lain, yang saya tahu jauh lebih paham sejarah dan perkembangan gerakan feminisme, spesifik di sastra Indonesia atau lebih luas lagi di media seni lain, politik dsb. Disclaimer ini bukanlah sebuah upaya untuk lari dari tanggung jawab saya terhadap tulisan ini, justru ini adalah ajakan terbuka untuk mengkritisi atau merespons tulisan saya.
Menurut Mas Yohan, empat langkah interogatif untuk menilai bias representasi yang ditawarkan Alcoff di artikel tsb, hanya bisa digunakan kalau sudah membaca kumpulan esai Cep. Di sini saya ingin menggunakan empat langkah tersebut untuk membicarakan dua konteks, Cep sebagai kritikus lelaki yang dapat imbas curiga karena bakal menerbitkan kumpulan esai membahas karya-karya perempuan (speaking about others) dan Gladhys sebagai perempuan yang mencurigai posisi Cep sebagai lelaki (speaking for others).
1. The impetus to speak must be carefully analyzed.
Dorongan apa kah yang membuat Cep menganalisa dan membahas karya-karya perempuan? Tentu saja, tanpa kenal dan pernah berbicara langsung dengan Cep, pertanyaan itu tidak akan mendapatkan jawaban konkret, dan hanya akan melahirkan banyak asumsi belaka. Salah satu yang bisa saya jadikan acuan, utas dari editor penerbit Velodrom (https://x.com/kaktuspessoa/status/1879743459277574152). Dari utas tersebut saya belum terlalu paham pernyataan, “karena ini satu isu penting…”, membuatku bertanya-tanya sendiri, penting karena karya-karya perempuan jarang disorot? Penting karena para pembaca lelaki hanya mau membaca karya-karya perempuan kalau sudah dapat stamp of approval dari lelaki lain? Walau begitu, penerbit juga bilang bahwa mereka ingin menantang Cep, jadi kalau pada akhirnya memang banyak pembaca perempuan mengungkapkan kecurigaan, bukankah ini bagian dari tantangan tersebut?
Dorongan apa kah yang membuat Gladhys mengungkapkan ke-skeptisan tersebut? Gladhys secara personal kenal dan tahu kalau semua yang terlibat di penerbit Velodrom adalah lelaki (kecuali layouter seperti diungkapkan di utas cuitan sebelumnya). Bukankah wajar jika muncul rasa skeptis dan curiga, ketika tahu ada penerbit yang didominasi oleh lelaki, memberikan wadah ke lelaki lain, untuk membahas bukan sepak bola, skena musik, skena film, skena ini itu, tetapi malah membahas karya-karya perempuan? Saya juga tidak memungkiri bahwa pasti ada perempuan lain yang tidak curiga seperti Gladhys, mungkin mereka sudah pernah baca karya kritik Cep, jadi sudah percaya dengan hasil analisis Cep. Apakah kami semua perempuan harus satu suara terlebih dahulu, tidak boleh satu pun ada pandangan berbeda, barulah kita layak dan boleh menyuarakan keresahan di media sosial atau media seni? Disclaimer lagi, meskipun Gladhys teman saya, semua yang saya jabarkan di sini, belum tentu valid 100%, semua ini sebuah dugaan dari hasil deduksi pengamatan saya pribadi.
2. Interrogate the bearing of our location and context what we are saying.
Perihal meninjau latar belakang Cep sebagai penulis dari buku kumpulan esai tsb, sudah dilakukan oleh beberapa teman pembaca yang belum pernah membaca esai kritik Cep, saat diskursus di twitter terjadi. Salah satunya dengan membaca salah satu analisis Cep dari hasil pembacaan novel “Laila Tak Pulang” oleh Abi Ardianda, di situs pribadinya. Selayaknya calon penonton sebelum menonton film di bioskop, ia bakal cek dulu trailer film tsb, jadi bukankah wajar kalau para teman pembaca yang skeptis, ingin membaca salah satu tulisan Cep dulu, supaya dapat sedikit gambaran kira-kira tulisan seperti apa yang bakal ada di buku kumpulan esai tsb? Namun sayangnya, mungkin server situsnya jebol dengan kunjungan mendadak banyak atau entah kenapa, tulisan itu tak lama kemudian menghilang dari blognya.
Gladhys mengungkapkan ke-skeptisan tersebut sebagai ungkapan keresahan seorang perempuan yang aktif di bidang seni, bukan hanya sastra saja, tapi juga di teater, tari dan film. Satu pola sama yang ia lihat di semua media seni tsb, di tanah air yang kadang-kita-cintai-kadang-enggak ini, adalah dominasi para lelaki sebagai pentolan-pentolan dan panutan terdepan, dari zaman jebot hingga sekarang. Kalau memang, di sastra menurut kalian pernyataan itu tidak benar, lalu kenapa ada penerbit di tahun 2021, menerbitkan antologi, “Yang Terlupakan dan Dilupakan”? Jadi, menurutku, itulah salah satu latar belakang yang membuat Gladhys bakal jadi pihak paling terdepan untuk mengungkapkan kejengahan setiap ia mendapati lagi-lagi yang mendapatkan panggung, secara harfiah atau pun kiasan, lelaki lagi lelaki lagi…
3. Speaking should always carry with it an accountability and responsibility for what one says.
Bagaimanakah keterbukaan Cep dengan kritik dari beberapa teman pembaca yang curiga, lalu membaca artikelnya tentang “Laila Tak Pulang” itu? Sebenarnya memang di twitter, Cep sama sekali tidak ikut sumbang suara, hanya ada utas cuitan dari editor Velodrom beberapa hari setelah diskursus itu muncul. Tapi selayaknya yang diungkapkan di utas tsb, “bubble kita kecil…”, wajar kalau monolog yang Cep ungkapkan di akun IG-nya, saat ia melabeli para teman-teman perempuan yang mengungkapkan kecurigaan sebagai tikus, bisa sampai ke beberapa dari kami. Apakah iya, ungkapan seperti itu merupakan bentuk keterbukaan untuk ditantang atau dikritisi kembali? Atau menurutnya ungkapan keresahan di media sosial seperti twitter itu tidak ada satu pun yang layak didengarkan, dan hanya layak didengarkan kalau sudah ditulis di medium seperti ini? atau harus diterbitkan jadi buku dulu? atau dipampang di koran? Aku tentu sependapat, gerakan apa pun itu, termasuk feminisme, tidak akan dapat berkembang secara berarti jika terus-terusan meliyankan pihak lain secara ekstrem, “us vs them”. Benar adanya penting untuk memiliki ally, tapi kalau para sosok yang berpotensi dijadikan ally itu sibuk memberi perempuan label seperti anti-intelektual, tikus, dan tukang tantrum, bukan malah berdiam sejenak dan berusaha mendengarkan, mengerti lebih jauh latar belakang kecurigaan yang tidak lahir ujug-ujug tanpa sebab itu, kudu piye kah sebaiknya?
Menurut saya, ini saya ala ala jadi jubir personal-nya Gladhys, kalian sangat bisa approach Gladhys di twitter, IG, atau jika memungkinkan ketemu langsung. Saya yakin, ia selalu siap dan terbuka untuk diajak diskusi lebih lanjut tentang ungkapan kecurigaannya itu, baik oleh perempuan atau lelaki. Kalau memang ada yang ingin mengkritisi ke-skeptisannya itu, ia akan terbuka dengan hal itu. Menurut saya, itu sudah ia tunjukkan juga dari balasan-balasan ke beberapa cuitan di tengah kehebohan diskursus tersebut. Ia bahkan mau sekali kalau kalian hadiahkan buku kumpulan esai Cep itu, biar bisa ia baca lalu didiskusikan bersama di suatu panel/forum. (Eh, ya enggak sih, dhys? hehe)
4. Analyze the probable or actual effects of the words on the discursive and material context.
Untuk poin ini, saya akan membicarakan secara umum, tidak lagi ke dua konteks seperti sebelumnya. Saya paham betul, kumpulan esai kritik sastra itu tidak banyak, perlu dirayakan setiap ada kritikus dan penerbit yang sudah mau meramaikan lahan pembahasan itu, genre bacaan yang kata orang kebanyakan hanya teruntuk pembaca niche saja. Namun, bukankah sudah suatu konsekuensi, kalau ingin mengubah ke-niche-an tsb menjadi sesuatu yang tidak terlalu niche, harus siap mendengar dan menerima lebih banyak pandangan berbeda, dan juga berpotensi melahirkan pakem-pakem berbeda dengan yang selama ini sudah dianggap pakem paling apik? Kalau ternyata salah satu imbas dari hal itu, membuat para lelaki (atau siapa pun) harus lebih hati-hati setiap ingin membahas tentang perempuan (atau kelompok masyarakat rentan lain), memang akuntabilitas lebih besar itu yang sekarang diharapkan. “Oh, ya aku menulis begini begitu, karena begitu begini…,” lalu terbuka untuk mendengar respons dari penjabaran alasan tsb, respons yang senada, agak-agak berbeda, berbeda sekali atau pun yang jaka sembung. Saya yakin, kita semua mampu untuk menyiapkan, menjabarkan dan mengungkapkan landasan dan alasan kita menulis, menerbitkan, mencurigai, menyukai atau membenci karya apa pun. Seperti saya siap ditanya, kenapa sih kok tidak move on move on, bahas tikus dan intelektual terus hehe. Menurutku, end goals dari pihak yang kemarin-kemarin menyuarakan kecurigaan itu bukanlah: “hanya lelaki yang boleh membicarakan lelaki dan hanya perempuan yang boleh membicarakan perempuan,” bukan seperti itu.
Kurang lebih itulah yang ingin saya sampaikan, tulisan kasual ini, tanpa editor dan saya post di blog saya sendiri pula, hehe. Harapan terbesar saya, terinspirasi oleh salah satu kawan: “ayo generasi kita ini harus bisa menunjukkan ke generasi di atas kita, kalau kita jauh lebih baik, kita lebih bisa terbuka untuk diskusi, saling mendengarkan, memahami dan bukan memperkokoh tembok pertahanan, sampai sebegitu enggan mendengarkan suara-suara yang kita belum terbiasa dengar.”
NB:
Leave a Reply